Senin, 04 Juli 2011

Takdir dan Kebebasan Manusia

Dalam pembicaraan sehari-hari kata “takdir” cenderung dipahami sebagai kepastian yang mesti disikapi dengan kepasrahan, tidak perlu dinalar secara kritis. Namun kalau kita membaca Alquran, banyak ditemukan kata takdir yang kalau dicermati maknanya menunjuk pada hukum alam yang mengandung hukum kausalitas, sebab-akibat.

Takdir adalah ketentuan, ukuran, dan kepastian yang telah ditetapkan Tuhan yang berlaku pada isi semesta ini. Contoh yang paling mudah adalah bunyi ayat Alquran (36:38) yang menyatakan matahari dan bulan berputar pada garis edarnya dan itu merupakan takdir Tuhan.

Dalam ayat-ayat yang lain, kata takdir memiliki makna sangat berdekatan, bahwa takdir berarti ketentuan Tuhan yang berlaku pada perilaku alam. Karena adanya takdir atau kepastian perilaku alam inilah ilmu pengetahuan alam menjadi berkembang dan berdiri kokoh. Kalau saja perilaku alam tidak memiliki kepastian sehingga sulit diprediksi, manusia sulit mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) modern karena iptek berjalan berdasarkan adanya hukum atau sifat alam yang serba pasti. Kata pasti tentu mesti dibedakan dari kata mutlak, absolut.

Ilmu falaq yang menghasilkan kalender sebagai pedoman hari, bulan, dan tahun dimungkinkan karena adanya ketetapan atau keajekan peredaran bulan dan matahari yang semua itu merupakan takdir atau kepastian dari Tuhan. Alquran menyebutkan, Dia telah menciptakan segala segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (QS Al Furqan:2). Misalnya, Allah menciptakan air dan menciptakan takdirnya, mencakup sifatnya yang kalau dipanaskan menguap, kalau didinginkan menjadi beku. Juga takdir air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Tuhan juga menakdirkan angin yang memiliki kekuatan daya dorong sehingga walaupun air berada di tempat rendah jika dipompa secara keras akan naik ke atas. Semuanya ini berlangsung mengikuti takdir Tuhan.

Contoh lain, manusia ditakdirkan tidak bisa terbang seperti burung. Namun, karena anak – anak Adam ditakdirkan memiliki kapasitas ilmu, manusia bisa menciptakan pesawat yang terbang bagaikan burung. Manusia ditakdirkan tidak bisa hidup di air bagaikan ikan. Namun dengan kemampuan takdir yang melekat pada manusia, manusia berhasil menciptakan kapal selam.

Demikianlah, jadi untuk melaksanakan mandat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, manusia diberi kemampuan sebagai manajer mengolah takdir, terutama melalui perangkat ilmu pengetahuan untuk memahami hukum sebab-akibat yang telah ditakdirkan Tuhan pada setiap ciptaan-Nya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia mengidentifikasi sifat dan perilaku alam, kemudian mengaturnya. Misalnya, manusia menemukan bahan bakar dan api, maka muncul tenaga sehingga bisa menggerakkan mesin mobil atau pabrik. Atau mempertemukan panas dan air dalam panci yang diisi beras, maka jadilah nasi. Inilah yang dimaksud manusia sebagai manajer takdir.

Jadi di sinilah mengapa Tuhan berfirman, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.” (QS Al-Baqarah : 31). Dengan mengenal sifat benda-benda di sekitarnya, manusia membuat klasifikasi dan identifikasi takdir yang melekat pada benda-benda itu untuk didayagunakan demi memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian, mengelola takdir ibarat main catur. Pemain memiliki kebebasan mengelola dan menggerakkan pion-pionnya di atas papan catur, tetapi gerakan dan aturannya sudah pasti tidak bisa diubah.

Begitulah halnya dengan kehidupan. Tuhan telah menciptakan takdir yang serbapasti di atas papan semesta ini, tetapi manusia dianugerahi nalar dan kebebasan untuk memahami takdir-takdir Tuhan lalu memilih perbuatan atau karya apa yang akan dibuatnya. Kalau seseorang memilih loncat dari bangunan tinggi, tubuh akan hancur, kepala akan pecah. Itulah hukum alam, itulah takdir yang ditetapkan Tuhan. Yang menjadi persoalan, mengapa seseorang mesti loncat bunuh diri, disitulah terletak ruang kebebasan yang dimiliki manusia untuk membuat pilihan.

Takdir perlu dibedakan dari musibah meski terdapat keterkaitan. Musibah artinya suatu kejadian yang tidak diinginkan menimpa seseorang. Jika lempengan perut bumi patah lalu terjadi gempa, disitu berlaku takdir Tuhan bahwa daya tahan lempeng bumi ada batasnya. Batas atau ukuran itu juga disebut takdir. Di situ berlaku hukum sebab-akibat. Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang berada dalam waktu dan tempat yang secara lahiriah salah sehingga terkena musibah. Gempanya sendiri merupakan fenomena alam, berlaku hukum sebab-akibat mengapa terjadi gempa. Jika manusia sudah tahu di situ dikenal sebagai daerah gempa, tetapi tidak mau pindah, anugerah kebebasan yang dimiliki tidak dimanfaatkan untuk menjauhi musibah gempa. Jika seseorang sama sekali tidak tahu atau sudah berusaha maksimal tetapi musibah terjadi juga, di situlah kita mesti bersangka baik pada takdir dan musibah yang menimpa seseorang. Di situ ada hukum sebab-akibat yang kita tidak tahu dan sebaiknya kita sikapi dengan pasrah dan iklas, semuanya dikembalikan pada Tuhan pemilik kehidupan.

Orang Jepang mungkin merupakan contoh bagaimana mereka berkompromi dan mengelola takdir, berkaitan dengan sifat alamnya yang sering gempa. Karena di Jepang kerap terjadi gempa bumi, dibuatlah rumah-rumah kayu tahan gempa agar tidak roboh. Artinya mereka sudah memahami dan bersahabat dengan takdir alamnya yang sering gempa. Jadi, alamnya ditakdirkan sering gempa, lalu dengan takdir Tuhan yang telah memberi akal, mereka menyiasati agar gempa tidak mendatangkan musibah.

Contoh lain adalah bangunan tinggi yang mudah terancam petir. Maka langkah komprominya dengan memberi penangkal petir, entah itu bangunan masjid, pabrik atau bangunan lain. Demikian kalau ada musibah manusia tidak dibenarkan terus menyerah atau menyalahkan Tuhan. Contoh lain, perut telah ditakdirkan Tuhan kemampuan daya tampungnya. Kalau manusia tidak menaati takdir kapasitas perut lalu makan tanpa batas, musibah akan terjadi.

Demikianlah seterusnya, manusia tidak bisa keluar dari takdir karena semua ciptaan Tuhan telah ditentukan sifatnya sehingga manusia diminta memahaminya agar tidak terjadi musibah. Kalaupun terjadi musibah, itupun ada hukum sebab-akibatnya, tetapi ada yang kita ketahui dan ada yang kita tidak sanggup mengetahui penyebabnya.

Ada peristiwa yang yang jarak sebab dengan akibatnya begitu pendek sehingga kita cepat memahami Misalnya ketika tangan terkena duri, jarak sebab dan akibatnya berupa sakit langsung kelihatan. Ada yang jaraknya agak lama, jika semalam kurang tidur, akibatnya siang hari kurang sehat. Ada yang tahunan, jika sewaktu muda tidak belajar dan malas, akibatnya di hari tua akan bodoh dan miskin.

Yang manusia sering lupa dan terlena adalah sebab-akibat yang berlaku di dunia dan akhirat. Akibat dari aktivitas di dunia baru akan dijumpai di akhirat nanti. Karena masih menanti dan belum dialami, manusia mudah meremehkan. Padahal itu termasuk takdir, hukum sebab-akibat yang pasti, tetapi kita sering meragukan bahkan menafikannya. Disitulah manusia memiliki kebebasan, apakah mengingkari, Tuhan memberi kebebasan atasnya, tetapi seseorang tidak akan bisa lari dari akibat pilihannya.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat – SINDO 220509

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini