Kamis, 21 Juni 2012

Bipolar Disorder Merubah Suasana Hati Dalam Hitungan Detik


bioenergicenternews.com - Gangguan manik-depresif atau bipolar ini ditengarai sebagai salah satu penyebab orang punya keinginan bunuh diri. Namun jika dikelola dengan baik – dengan pengobatan dan terapi yang konsisten – gangguan suasana hati yang ekstrim ini bisa dikontrol.
Kasus bunuh diri pada remaja masih saja terjadi. Bahkan ada kecenderungan meningkat. Ini terlihat dari data World Health Organization (WHO) di tahun 2001 yang menyebutkan bahwa angka bunuh diri di Indonesia sekitar 1,6 – 1,8 orang per 100.000 penduduk, sementara laporan WHO di tahun 2005 – 4 tahun kemudian -  menyebutkan ada sekitar 24 orang dari 100.000 penduduk Indonesia.  Data terakhir dari Kementerian Kesehatan RI untuk wilayah Jakarta saja, angka kematian akibat bunuh diri mencapai 160 orang per tahun.
Meskipun banyak faktor ditengarai sebagai penyebabnya – seperti kesulitan ekonomi, masalah keluarga, juga rasa putus asa – penelitian yang dilakukan oleh Dr Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago,  menemukan bahwa 9 dari 17 remaja yang meninggal akibat bunuh diri memiliki sejarah gangguan mental. Dan salah satu gangguan yang bisa membawa seseorang menuju pada keputusan bunuh diri adalah bipolar disorder.
Gangguan bipolar yang sering disebut sebagai gangguan manik-depresif bisa dikenali dari gejalanya yang menunjukkan perubahan yang ekstrim dalam emosi, pikiran, serta tindakan yang berganti-ganti secara cepat dan terkadang tanpa alasan yang jelas. “Pola berpikir penderita yang semula tenang, jelas, bahkan penuh ide kreatif dapat berubah menjadi kacau, tidak jelas, dan bahkan penuh halusinasi. Emosinya juga berubah dalam hitungan detik, begitu juga perilaku penderita yang tadinya aktif, ceria, tiba-tiba dapat berubah secara cepat menjadi tertutup, sedih, bahkan sampai ingin bunuh diri,” kata Liza Marielly Djaprie, MPsi, CH, psikolog dan hipnoterapis di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta.
Hal ini terungkap juga dari cerita ibu Laila (bukan nama sebenarnya) yang salah seorang anaknya mengalami bipolar, “Anak saya  sering  bilang sudah tidak kuat hidup dan ingin bunuh diri hanya karena dia merasa prestasi di sekolahnya tak seperti yang diharapkan. Padahal, anak saya ini pinter banget, loh!” katanya.
Peristiwa yang hampir merenggut nyawa anaknya pun pernah terjadi, “Gara-gara masalah sepele, ia merasa tak kuat hidup, lalu melukai dirinya sendiri sampai nyaris tak tertolong,” kenang Laila.

Terbanyak karena faktor keturunan
            Penyebab utama terjadinya bipolar adalah faktor keturunan, seperti terungkap dalam buku Manic Depressive Illness yang ditulis oleh Goodwin dan Jamison. Disebutkan bahwa 2/3 penderita bipolar yang diteliti memiliki faktor genetik. “Jadi, kalau salah satu anggota dalam keluarga bipolar ada gejala-gejala bipolar, penting untuk mendapat perhatian jika ada perubahan-perubahan emosi dan perilaku yang tidak normal, baik pada diri sendiri maupun orang lain,” demikian wanti-wanti Liza.
            Dengan nada penyesalan Laila mengungkapkan bahwa di keluarganya memang ada kasus bipolar. “Sayangnya saya tidak tahu bahwa itu menurun sehingga saya tidak memerhatikan gejala-gejala bipolar yang muncul pada anak saya,” cerita Laila.
            Meski telah diketahui pentingnya faktor genetis sebagai pencetus bipolar, menurut Liza hingga saat ini belum ada cara untuk mencegah agar gangguan ini sama sekali tidak muncul pada seorang pembawa gen bipolar.
            Lagi pula, masalah genetik juga bukan satu-satunya penyebab. “Kalau orang terbiasa memandang dirinya dan hal-hal yang terjadi dalam hidupnya secara negatif, merasa dirinya tidak berguna, dan hidupnya penuh dengan masalah, meski secara genetik dirinya  “aman”, ia tetap bisa mengalami gangguan bipolar akibat kesedihan yang ia ciptakan sendiri,” Liza menerangkan.


Ketidakseimbangan neurotransmiter otak
Namun penelitian menunjukkan bahwa ternyata gangguan bipolar tak semata-mata merupakan masalah psikis. Sebuah penelitian  yang dipublikasikan di American Journal of Psychiatry  melaporkan bahwa otak para penderita bipolar memiliki 30% lebih banyak sel yang mengirimkan sinyal ke otak lain daripada otak orang yang normal. Penelitian ini kemudian mengasumsikan bahwa sel-sel pengirim sinyal yang terlalu banyak ini mungkin menyebabkan stimulasi yang terlalu berlebihan di otak, yang kemudian memunculkan gejala gangguan bipolar.
“Dari hasil pemeriksaan otak anak saya, ternyata jumlah dopaminnya jauh lebih banyak dari orang normal,” terang Delly, ibunda Dida.
Dopamin, serotonin, dan norepinefrin adalah tiga neurotransmiter otak yang bertanggung jawab pada seluruh proses di tubuh, termasuk mengatur suasana hati, emosi, cara tubuh merespons stres dan stimulasi  dari luar tubuh, menjalankan fungsi kognitif,  dan semua fungsi tubuh lainnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim pimpinan Jon Zubieta, MD dari University of Michigan menemukan bahwa otak orang yang mengalami gangguan bipolar memiliki sejumlah sel yang memproduksi dopamin, serotonin, dannorepinephrin dalam jumlah besar. Sel-sel ini terkonsentrasi pada bagian tertentu di otak, dan terus aktif, bahkan ketika penderita bipolar sedang beristirahat.
          Karena itulah, Liza menegaskan, terapi farmakologi pada penderita bipolar mutlak dibutuhkan, tentu dengan dosis yang disesuaikan dengan kondisi penderita. Secara umum, obat-obatan yang digunakan pada penderita bipolar berfungsi sebagai antidepresan untuk menstabilkan emosi dan menjaga keseimbangan neurotransmiter di otak. Dida pun merasakan efek positif dari obat ini, “Setelah mendapat medikasi dari psikiater, saya merasa dapat mengatur mood saya.”

Manajemen stres dan terapi psikologis
Salah satu cara mencegah munculnya gangguan mood pada penderita bipolar adalah dengan manajemen stres, lewat bimbingan pola berpikir yang tepat dalam menghadapi tuntutan hidup.  Hal ini juga dipelajari oleh Dida, “Sekarang ini, kalau dihadapkan pada banyak masalah, saya tidak berusaha mengatasinya sekaligus, tapi mencoba menyelesaikannya satu per satu.”
Dida juga punya cara untuk membuat hatinya lebih tenang, “Saya lebih sering mendengarkan musik atau menonton film,” cerita Dida.
             Liza pun mengiyakan, “Penderita bipolar bisa menemukan inspirasi tentang cara menjalani hidup yang lebih baik, antara lain dengan menonton film.” Meski begitu, Liza mengingatkan bahwa terapi yang cocok buat satu orang belum tentu cocok buat orang lain.
Untuk mengatasi gangguan emosi pada penderita bipolar, Liza menyebutkan beberapa terapi:
Terapi kognisi: penderita dilatih untuk mengembangkan pola berpikir yangtepat.
Terapi perilaku: melatih penderita mengendalikan perilaku impulsifnya.
Terapi psikoanalisa: mengelola konflik dan emosi yang terpendam di masa lalu.
Terapi kelompok: melatih kemampuan berinteraksi sosial.
Terapi keluarga: melatih anggota keluarga dan penderita untuk bersama menyelesaikan konflik di antara mereka, dan melatih anggota keluarga untuk menjadi kelompok suportif bagi penderita.
Sementara terapi pendukung lainnya yang boleh dipertimbangkan adalah relaksasi, meditasi, dan hipnoterapi untuk melatih fokus dan ketenangan dalam diri penderita. 


Sumber : www.nirmalamagazine.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini